Sriwijaya Menunggu 7.000 Tahun
Sabtu, 08 November 2008
Oleh T. WIJAYA bin M. BACHTIAR
WONG Palembang lebih dulu mengenal sepakbola dibandingkan orang Inggris. Tapi, lantaran tidak ada tanah kering yang luas, baru 12 abad sejak ibu kota kerajaan Sriwijaya ini berdiri sepakbola dimainkan wong Palembang.
Pernyataan bernada humor ini saya sampaikan kepada seorang kawan, yang menyatakan wong Palembang baru mengenal sepakbola, bila dibandingkan dengan masyarakat lain di Indonesia, seperti Medan, Surabaya, Makasar, maupun Jakarta. Dalilnya, tidak banyak pemain sepakbola buat tim nasional Indonesia yang berasal dari Palembang.
Fakta minimnya pemain sepakbola tim nasional Indonesia dari Palembang, dapat dibenarkan. Tetapi, soal masyarakat Palembang baru mengenal olahraga ini, saya tidak setuju. Bahkan, saya berasumsi puyang atau nenek moyang wong Palembang lebih dulu mengenal sepakbola dibandingkan orang Inggris. Lo?
Dasar asumsi ini lantaran hubungan masyarakat Palembang dengan bangsa Tiongkok, jauh lebih dahulu dibandingkan dengan orang Inggris. Hubungan bangsa Tiongkok dengan masyarakat Palembang bahkan sebagian berasal dari Tiongkok sejak berdiri kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7.
Lalu, apa hubungannya sepakbola dengan bangsa Tiongkok?
Menurut seorang kawan, tanpa identitas, yang menulis sejarah sepakbola, yang mana artikelnya itu gentayangan selama dua tahun ini di dunia maya alias internet, sepakbola berasal dari Tiongkok. Bukan dari Inggris atau India, seperti yang diyakini selama ini.
Setelah melakukan verifikasi dengan data dari sumber lain, saya mempercayai penelusurannya itu. Jadi, sangatlah tidak benar bila sporter Inggris, saat Piala Eropa 1996 lalu, menulis pada sebuah spanduk besar: Sepakbola kembali ke tanah luluhurnya. Sporter Inggris tampaknya mengukur sejarah sepakbola dari berdirinya Asosiasi Sepakbola (FA) Inggris yang baru berusia dua abad, yang merupakan organisasi sepakbola tertua di dunia.
PADA tanggal 20 Mei 2004, saat merayakan ulangtahunnya ke-100, organisasi sepakbola international (FIFA), secara resmi mengakui sepakbola berasal dari Tiongkok, bukan dari Inggris atau India yang selama ini diyakini banyak orang.
Berdasarkan penelitian sejarah, sepakbola berkembang atau telah dimainkan bangsa Tiongkok, lebih kurang 7.000 tahun lalu. Buktinya, sebuah manuskrip dari masa Dinasti Tsin (255-206 sebelum Masehi) menceritakan soal sepakbola. Diceritakan sepakbola adalah permainan rakyat dan bangsawan, sejak 5.000 tahun sebelumnya. Pada masa Tsin sendiri, permainan yang disebut Tsu chu yang berarti menendang bola, digunakan buat melatih fisik para prajurit kerajaan.
Menurut penulis Tiongkok, Li You (55-135), Tsu chu dimainkan 12 orang, atau setiap tim terdiri 6 orang. Mereka berlomba memasukkan bola ke lubang jaring yang diameternya berkisar 40 centimeter. Jaring itu diletakan di atas tiang setinggi 10,5 meter di tengah lapangan. Lapangan itu sendiri dikelilingi tembok. Bola terbuat dari kulit binatang berisi rambut atau bulu. Dalam bermain Tsu chu, para pemain menggunakan ilmu bela diri kung fu. Aturannya, bola tidak boleh disentuh dengan tangan, dan pemenangnya adalah tim yang banyak memasukkan bola ke jaring. Saat itu sudah ada yang berfungsi sebagai wasit, yang mengatur permainan dan mencatat skor.
Filosofis Tsu chu; bola menyimbolkan bulan yang bernilai sacral, tim yang bertanding melambangkan Yin dan Yan, dan, angka 12 menunjukkan jumlah bulan dalam penanggalan Tiongkok. Pada 1465-1509, Tsu chu juga dimainkan para perempuan.
Berdasarkan legenda di masyarakat Tiongkok yang berkembang hingga hari ini, para raja atau kaisar selain membuat lapangan Tsu chu, memerintahkan sekolah atau lembaga pendidikan diwajibkan mengajarkan olahraga ini. Bahkan pada masa Dinasti Han (206 sebelum Masehi hingga 200 setelah Masehi) ada pertandingan antara tim Tsu chu Tiongkok melawan tim Jepang di Kyoto. Orang Jepang sendiri mengenal olahraga ini setelah dibawa para pedagang atau siswa yang belajar ke Tiongkok. Bedanya, di Jepang olahraga ini disebut Kemari. Pemainnya minimal 2 orang dan maksimal 12 orang. Gawangnya berupa jaring yang diletakkan pada dua tiang. Artinya, tiap tim menjaga jaringnya. Tapi, sama seperti Tsu chu, para pemain dilarang bersikap kasar atau melukai lawan.
Dari Jepang dan Tiongkok ini diperkirakan Marcopolo mengenal olahraga tersebut, dan kemudian membawa atau memperkenalkannya ke Eropa. Meskipun sebagian peneliti meragukan perkiraan tersebut.
SEPAKBOLA tradisional di Eropa berkembang sebagai olahraga barbar. Ini berbeda yang berkembang di Tiongkok dan Jepang.
Bangsa Eropa mengenal permainan bola pada 800 tahun sebelum Masehi. Tepatnya bermula di Yunani, yang disebut Episkyro dan Harpastron. Bangsa Romawi yang menyerang Yunani tahun 146 sebelum Masehi, diperkirakan membawa permainan tersebut ke negerinya. Kebetulan, Kaisar Romawi saat itu Julius Caesar sangat menyukai Harpastron. Sama seperti di Tiongkok, mereka menggunakannya sebagai olahraga melatih fisik para prajurit atau tentara. Pemainnya ratusan orang. Dan, bentrok fisik sering berlangsung, sehingga tampak seperti kerusuhan massal. Tidaklah heran, pemikir Romawi saat itu, Horatius Flaccus dan Virgilius Maro, menyebut Harpastron sebagai olahraga biadab. Selanjutnya, olahraga ini dilarang di Romawi. Pelarangan terus berlangsung di Romawi dan daratan Eropa lainnya.
Hal yang sama berlangsung di Inggris, yang mengenal permainan bola sejak abad ke-8 Masehi. Permainan ini dilakukan di lapangan luas, atau sebuah jalan yang panjangnya mencapai 4 kilometer. Pemainnya ratusan orang. Bolanya adalah tengkorak kepala manusia. Caranya berebut bola tanpa aturan atau dengan segala cara. Akibatnya, setiap kali pertandingan digelar, puluhan hingga ratusan orang tewas. Yang selamat, dipastikan mengalami cidera atau luka-luka.
Dampaknya, raja Inggris, Edward II pada tahun 1344 Masehi, mengeluarkan titah yang isinya melarang rakyatnya bermain olahraga itu, terkhusus bagi kalangan keluarga istana atau bangsawan. Menurut Edward II, sepakbola adalah permainan setan yang dibenci Tuhan. Siapa saja yang kedapatan bermain sepakbola akan dihukum mati atau kurungan. Larangan ini berlangsung hingga Ratu Elizabeth I (1533-1608) berkuasa.
Gereja-gereja di Inggris turut terpengaruh dengan sikap para raja ini. Mereka turut mengutuk atau mengkampanyekan pelarangan sepakbola. Seorang pemikir dan puritan di Inggris, Philip Stubbes, merupakan tokoh yang paling getol mengkampanyekan pelarangan sepakbola. Tahun 1583, dia menulis buku The Anatomie of Abuses, dan menuliskan, Ratusan orang mati dalam satu pertandingan ini (sepakbola).
Sejarah yang sama berlangsung di Prancis. Permainan yang disebut Soule itu akhirnya dilarang Raja Felipe V pada 1319 Masehi, dan dilanjutkan para raja sesudahnya.
SEMENTARA di Amerika Tengah, permainan bola telah dikenal suku Indian sejak ratusan tahun lalu. Pada suku Astek, permainan bola merupakan gabungan dari permainan basket, voli, dan sepakbola.
Pada suku Indian, sepakbola lebih tepat disebut sebagai perang antarsuku, yang digelar di lapangan sangat luas, dalam waktu berhari-hari, jika skor terus imbang. Artinya, setiap pertandingan, harus ada pemenang. Setiap tim, pemainnya mencapai 500 orang. Dan, dapat dibayangkan, setiap akhir pertandingan, banyak pemain yang mengalami cidera.
MENGENAI sepakbola modern, kita harus mengakui Eropa. Permainan sepakbola modern dan tertib yang dikembangkan Eropa, kini berkembang di pelosok dunia, atau yang resmi disebut sepakbola. Meskipun awalnya, di Tiongkok, olahraga ini tertib dan damai, tidak seperti di Eropa yang biadab.
Adalah Giovani Bardi dari Italia, yang menulis mengenai aturan permainan sepakbola yang di Italia disebut Calcio pada tahun 1580. Setahun kemudian, 1581, Richard Mulcaster di Inggris melakukan hal yang sama. Pendidik atau kepala sekolah Merchant Taylor¡¦s dan St. Paul ini menyerukan adanya pembatasan pemain dan wasit dalam sepakbola. Dia pun menolak unsur kekerasan dalam sepakbola. Dia menyarankan sepakbola dimainkan perempuan dan anak-anak. Semua seruannya itu termuat dalam buku miliknya yang berjudul Position Where in Those Primitive Circumstones be Examined.
Seruan kedua tokoh ini tidak mendapat sambutan yang luas. Baru, dua abad kemudian, Joseph Strutt, melalui bukunya The Sports and Pastimes of The People England, menyarankan sepakbola dimainkan oleh dua tim yang jumlahnya sama. Lalu, kedua tim harus berebut bola untuk memasukkannya ke gawang lawan yang terpisah, dengan jarak lapangan berkisar 70-90 meter.
Dalam World Soccer (1992), Guy Oliver menulis peraturan dan permainan Tsu Chu maupun Kemari merupakan sumber ilham sepakbola modern. Sementara Mulcaster dijuluki sebagai pembela sepakbola paling gigih dari abad 16. Konsep Strutt dijadikan pijakan peraturan sepakbola modern. Pijakan ini mendasari lahirnya Football Association (FA) di Inggris pada 26 Oktober 1863, yang merupakan organisasi sepakbola tertua di dunia. Awalnya FA mengatur pemain sepakbola setiap tim sebanyak 15-21 orang. Tahun 1870, mereka memutuskan dengan 11 pemain setiap tim. Sepuluh tahun kemudian, 1880, diciptakan seorang penjaga gawang.
FA juga memutuskan adanya wasit dalam setiap pertandingan, dan mematok luas lapangan, serta bola terbuat dari kulit binatang yang diisi angin.
Istilah Soccer lahir dari FA. Charles Wreford Brown, mahasiswa Universitas Oxford, tidak sengaja menyebut Soccer ketika menjawab pertanyaan apakah dia seorang pemain rugby (rugger). No, I am soccer, katanya.
Sedangkan kata football, lahir dari kebencian atas permainan tersebut. Para raja di Inggris pada abad ke-17, menyebut permainan tersebut sebagai fute-ball. Lalu, sastrawan Inggris, William Shakespeare, mempopulerkan istilah ini buat mengejek seseorang dalam naskah dramanya.
Drama King Lear, seorang tokoh mengejek tokoh lain yang dinilainya dungu dengan kalimat, Foorball player. Begitupun dalam naskah Comedy and Errors yang ditulis Shakespeare.
SEBAGAI hasil dari kebudayaan massal, banyak intelektual atau pemikir membahas sepakbola. Misalnya Vicktor Matheson dari Departemen Ekonomi William College, Inggris, tahun 2003, menyebutkan, klub-klub sepakbola di Eropa dan Amerika Latin, telah menyumbangkan pertumbuhan ekonomi pada negaranya. Setiap klub, berputar uang triliun rupiah, dan setidaknya memberikan pekerjaan buat 3.000 orang.
Filsuf sekelas Albert Camus, yang pernah menjadi kiper, berkata, dirinya berutang banyak pada sepakbola karena olahraga ini mempertontonkan soal moral dan tanggungjawab. Filsuf lainnya, seperti Claude Levi-Strauss dan Gramsci juga menulis kajian filsafat mengenai sepakbola.
Sedangkan di Indonesia, pemikir yang sering menulis sepakbola adalah Abdurachman Wahid atau Gus Dur, yang kemudian menjadi Presiden Indonesia. Bahkan, kabarnya, dengan kondisi tubuhnya yang sakit-sakitan, dia masih menyempatkan diri mengikuti pertandingan sepakbola.
MELALUI sejarah panjang di atas, tidaklah heran pada dasawarsa 20 tahun terakhir, sepakbola memiliki peranan penting dalam perjalanan kebudayaan dunia. Sepakbola bukan menjadi simbol kebiadaban, tetapi kembali menjadi tanda kesehatan dan kedamaian seperti kelahirannya di Tiongkok.
Pemain, pelatih, maupun pemilik, merasakan dampak positif dari sepakbola. Bahkan, sepakbola dapat memengaruhi eksistensi sebuah negara dalam pergaulan international. Tidak heran, bila banyak pemikir dunia meletakkan sepakbola sebagai ideologi baru, yang mampu menyatukan berbagai etnis maupun bangsa, dengan perbedaan latar belakang sosialnya.
Negara-negara yang sudah merasakan dampak politik dan ekonomi dari sepakbola, selain negara-negara di Eropa, seperti Jerman, Inggris, Italia, Spanyol, atau Prancis, juga negara-negara miskin di Afrika maupun Amerika Latin. Menjadi pemain sepakbola professional, merupakan peluang yang realitis bagi anak-anak Afrika atau Amerika Latin yang miskin buat memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Sementara pemerintah, memanfaatkannya buat mempromosikan sumber daya alam atau kekayaan negaranya buat menarik wisatawan maupun investor.
Mungkin kita tidak akan tahu keberadaan negara seperti Pantai Gading atau Ghana, bila kita tidak mengenal pemain seperti Didier Drogba atau Michel Essien.
Di Eropa, seorang politikus atau pebisnis yang memiliki kedekatan dengan sebuah klub sepakbola yang prestasinya menonjol, baik sebagai pemilik maupun pendukung, lebih gampang melejitkan karier politik atau bisnisnya.
SEBETULNYA perkembangan sepakbola modern di Indonesia, tidak terlalu jauh dengan perkembangannya di Eropa dan Amerika. Bila dibandingkan dengan sejumlah negara di Afrika atau Asia, mungkin jauh lebih tua. Buktinya, organisasi sepakbola Indonesia yakni Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dibentuk pada 19 April 1930 di Yogyakarta.
Organisasi yang didirikan dengan semangat politik, sebagai alat membangun rasa nasionalisme bagi pemuda Indonesia, didirikan seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo.
PSSI menjadi anggota FIFA pada 1 November 1952 pada saat kongres FIFA di Helsinki, Finlandia. Lalu, tahun itu pula PSSI menjadi anggota AFC (Asian Football Confederation). Selanjutnya menjadi pelopor pembentukan AFF (Asean Football Federation).
Menariknya, PSSI adalah satu ¡V satunya induk organisasi olahraga yang terdaftar dalam berita Negara setelah 8 tahun negara Indonesia berdiri. Yakni berbadan hukum dengan mendaftarkan ke Departement Kehakiman dan mendapat pengesahan melalui SKep Menkeh R.I No. J.A.5/11/6, tanggal 2 Februari 1953, tambahan berita Negara R.I tanggal 3 Maret 1953, No 18.
Prestasi terbaik sepakbola Indonesia, justru pada saat PSSI berada saat Indonesia belum berdiri. Meskipun tidak disetujui Soeratin, sebanyak 9 pemain binaan PSSI dikirim mengikuti Piala Dunia 1938 atas nama Dutch East Indies, pemain lainnya adalah orang Belanda di Indonesia. Soeratin tidak setuju lantaran menolak mengibarkan bendera Belanda.
Di era 1960-an, sepakbola Indonesia cukup disegani di tingkat international. Timnas Uni Soviet ditahan 0-0 saat bertanding di Stadion Gelora Bung Karno. Era kejayaan Indonesia di masa Ramang dan Tan Liong Houw, kemudian era Sucipto Suntoro, dan terakhir era Ronny Pattinasarani.
Kini, prestasi sepakbola Indonesia seperti terjun bebas. Indonesia yang sebelumnya mampu menghempaskan Jepang, Korea, Arab Saudi, akhirnya tak berdaya dengan tim nasional dari negara-negara tersebut, yang kemudian menjadi langganan Piala Dunia. Bahkan, Indonesia cukup sulit mengalahkan tim nasional sekelas Vietnam, Thailand, maupun Malaysia.
Di tengah prestasi sepakbola nasional yang anjlok, di Indonesia pupolaritas sepakbola justru naik dibandingkan olahraga lainnya. Globalisasi siaran liga sepakbola yang digelar negara-negara di Eropa, seperti Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, membuat para pemain sepakbola, dari era Klismann, Platini, Bechkam, Ronaldo, Kaka, hingga Ronney, mendapatkan fans-nya di Indonesia.
Banyak orang bermimpi Indonesia memiliki tim nasional yang tangguh, dan dapat berbicara di level international. Liga sepakbola pun disemarakkan, termasuk berbagai turnamen, yang melibatkan banyak klub di Indonesia. Agar dapat merangsang kemampuan para pemain nasional, didatangkan para pemain asing, yang kualitasnya di atas rata-rata pemain Indonesia.
Di tengah euphoria sepakbola ini, sangatlah wajar apabila sejumlah pemerintah daerah menciptakan sebuah tim sepakbola. Harapan mereka, tentunya tim yang mereka bentuk dapat merangsang prestasi tim nasional, selain itu memberikan kebanggaan bagi masyarakatnya, sehingga lahir semangat juang untuk mendorong pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia.
Pemerintah Sumatra Selatan di bawah kepemimpinan Syahrial Oesman, tampaknya peduli dengan persoalan ini. Tahun 2004, Syahrial Oesman, mengakusisi sebuah klub yang prestasinya menurun di Liga Indonesia dan mengalami krisis keuangan, yakni Persijatim Solo. Pemerintah Sumatra Selatan membelinya sebesar Rp6 miliar. Tahun 2005, Persijatim Sriwijaya FC, nyaris melorot dari divisi utama. Tapi, tahun 2006, setelah namanya menjadi Sriwijaya FC, prestasinya menjanjikan, masuk 10 besar. Lalu, memasuki tahun ketiga, 2007, Sriwijaya FC langsung melejit, yakni meraih juara Piala Copa Dji Sam Soe dan Liga Indonesia. Sebuah prestasi yang belum pernah diraih semua tim yang ada di Indonesia!
Prestasi Sriwijaya FC tersebut merupakan prestasi yang kali pertama dirasakan masyarakat Sumatra Selatan dalam sepakbola. Sebelumnya di Palembang pernah bercongkol klub Kramayudha Tiga Berlian. Tapi, mungkin klub ini saat pindah markas ke Palembang, prestasinya sudah menonjol, sehingga antusias masyarakat tidak sebesar terhadap Sriwijaya FC. Tepatnya, proses prestasi Sriwijaya berjalan bersama masyarakat Sumatra Selatan.
Lalu, banyak orang mencibir prestasi Sriwijaya FC. Misalnya menyebut Sriwijaya FC tidak akan berprestasi sehebat itu kalau tidak ada pemain asing. Cibiran ini menurut saya tidak muncul, bila mereka mengenal sejarah klub-klub besar di dunia, khususnya di Eropa. Para pemain asing dari Afrika, Amerika Latin, dan Asia, kini betaburan di klub-klub besar di Eropa, seperti Liverpool, AC Milan, Bayern Munchen, Real Madrid, atau Arsenal.
Belum lagi kalau melihat sejarah, bangsa Indonesia ini merupakan kumpulan berbagai etnis atau bangsa yang ada di Asia maupun belahan dunia lainnya. Tidak ada yang asli Indonesia. Mungkin, yang dimaksud para pengkritik itu adalah para pemain yang ber-KTP (Kartu Tanda Penduduk) Sumatra Selatan.
Di sisi lain, saat ini berbagai bangsa di dunia, seakan sepakat sepakbola merupakan wadah komunikasi antarbangsa. Sehingga sepakbola yang sebelumnya merupakan olahraga barbar menjadi olahraga pemersatu, penyebar persaudaraan dan perdamaian. Kalau terus dihembuskan pemain asing dan nonasing, saya khawatir sepakbola di Sumatra Selatan akan menghidupkan kelompok ultranasionalis seperti Neo-Nazi yang menyusupi sporter sepakbola di Jerman. Memang, sebuah klub harus melahirkan para pemain lokal yang andal, sebagai kebutuhan daerah maupun nasional. Namun, tampaknya tuntutan terhadap Sriwijaya FC masih terlalu dini. Bila klub ini telah berusia 5 tahun, mungkin tuntutan itu sudah pantas diajukan.
Terakhir, meskipun belum ditemukannya catatan mengenai olahraga Tsu chu yang dimainkan masyarakat Palembang, saya berspekulasi bangsa Tiongkok telah memperkenalkan olahraga tersebut pada masyarakat Palembang, ketika kerajaan Sriwijaya menjadi tujuan utama bangsa Tiongkok ke kawasan selatan Asia. Bila permainan sepak takraw dijadikan cikal sepakbola, tampaknya masyarakat Palembang¡Xbaca Melayu¡Xtelah mengenal lama sepakbola.
DI balik uraian di atas, saya mendapatkan sesuatu yang unik dari prestasi Sriwijaya FC. Yang mana, semua prestasinya memberikan tanda angka 3.
Memasuki usia 3 tahun atau 63 tahun berdirinya Republik Indonesia, Sriwijaya FC meraih Piala Copa Dji Sam Soe ke-3. Lalu, Ketua Umum Sriwijaya FC yakni Syahrial Oesman merupakan gubernur Sumatra Selatan ke-13, sementara Sriwijaya FC meraih juara Liga Indonesia ke-13. Syahrial Oesman sendiri berumur 53 tahun.
Keberhasilan Sriwijaya FC meraih Piala Liga Indonesia dan Piala Copa Dji Sam Soe melahirkan 3 kejutan. Pertama, Sriwijaya FC merupakan klub pertama yang mampu menggabungkan dua piala bergengsi di Indonesia itu. Kedua, pelatih Rahmad Darmawan, merupakan pelatih pertama yang merasakan nikmatnya Piala Liga Indonesia dari klub yang berbeda, yakni Persipura Jayapura dan Sriwijaya FC. Ketiga, Zah Rahan menjadi pemain asing pertama yang menerima penghargaan sebagai pemain terbaik Liga Indonesia.
Dan, saat mengikuti Liga Indonesia tahun 2005, di Sumatra Selatan masih terdiri 13 kabupaten dan kota. Lebih jauhnya, prestasi Sriwijaya FC menandai umur peradaban dunia yang memasuki milenia ke-3 atau 13 abad setelah kelahiran kerajaan Sriwijaya.
Misteri angka 3 itu, menurut saya sebuah pertanda baik bagi masyarakat Sumatra Selatan. Sama seperti bangsa Eropa yang kali pertama memasuki era kebangkitan, yakni masa revolusi industri, sejalan dengan perkembangan dan prestasi sepakbolanya.
Bukan tidak mungkin, Sriwijaya FC mendorong sepakbola sebagai peyumbang pertumbuhan ekonomi bagi Sumatra Selatan, seperti halnya klub-klub sepakbola di Eropa dan Amerika Latin. Selain itu, sebagai penanda semangat dan kepercayaan diri masyarakat Sumatra Selatan dalam membangun daerah yang kaya dengan sumber energi dan pangan ini. Target utamanya, menjadikan Sumatra Selatan sebagai lumbung pesepakbola andal. [*]
0 komentar:
Posting Komentar